Minggu, 30 November 2014

Stabilitas Sistem Keuangan

Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan saat suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil. Suatu sistem keuangan dikatakan tidak stabil pada saat sitem tersebut telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi.
            Ketidakstabilan sistem keuangan dapat disebabkan oleh berbagai macam hal dan umumnya merupakan kombinasi kegalalan pasar, baik karena faktor structural maupun perilaku. Kegagalan pasar tersebut dapat bersumber dari ekstrenal (internasional) maupun internal (domestik). Resiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain resiko kredit, resiko likuiditas, resiko pasar dan resiko operasional.
            Globalisasi sektor finansial yang didukung oleh perkembangan teknologi dapat meningkatkan resiko instabilitas sistem keuangan. Identifikasi yang dilakukan terhadap sumber ketidakstabilan sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward looking (melihat kedepan). Maksudnya, identifikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk mengetahui potensi resiko yang akan timbul serta pengaruhnya terhadap kondisi sistem keuangan dimasa mendatang,. Hasil identifikasi tersebut dianalisis potensi resikonya pada masa mendatang termasuk dampaknya, apakah dampaknya akan meluas dan bersifat sistemis sehingga dapat melumpuhkan perekonomian.
Sistem keuangan berperan sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Sistem keuangan merupakan bagian perekonomian yang berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami kelebihan dana (surplus) kepada pihak yang mengalami kekurangan dana (deficit). Sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien menyebabkan pengalokasian dana tidak berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Krisis keuangan pada 1997 menjadi pembuktian mengenai pentingnya stabilitas sistem keuangan. Krisis tersebut menunjukkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh pemerintah akibat tidak stabilnya sistem keuangan jumlahnya sangat besar serta dibutuhkan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik terhadap sistem keuangan. Krisis pada 1997 juga memnunjukkan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan.
Upaya untuk mengurangi resiko terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan sangat penting dilakukan karena ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti hal-hal berikut:
  1. Kebijakan moneter menjadi tidak efektif karena transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal.
  2. Pertumbuhan ekonomi dapat terhambat karena fungsi intermediasi tidak dapat berjalan dengan baik dalam mengalokasikan dana.
  3. Kesulitan likuiditas karena kepanikan masyarakat.
  4. Biaya penyelamatan yang sangat mahal jika terjadi krisis yang bersifat sistemis.
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan
Bank Indonesia merupakan otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran di Indonesia. Bank Indonesia bertugas untuk menjaga stabilitas moneter dan stabilitas keuangan Indonesia. Kedua hal ini sering kali berhubungan, fungsi untuk menjaga stabilitas moneter sering kali tidak dapat terlepas dari fungsi menjaga stabilitas sistem keuangan.
            Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan merupakan dua bagian yang tak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan memperngaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan.
            Sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama tersebut mencangkup kebijakan dan istrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, yaitu:
  1. Menjaga stabilitas moneter, antara lain melalui instrument suku bunga dalam operasi pasar terbuka.
  2. Menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
  3. Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Apabila terjadi gagal bayar (failed to settl e) pada salah satu peserta dalam sistem pembayaran, maka akan timbul resiko potensial yang cukup serius dan menggangu kelancaran sistem pembayaran.
  4. Melakukan pemantauan terhadap kerentanan sektor  keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan.
  5. Menjadi jaring pengaman sistem keuangan melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR).
Kerangka Stabilitas Sistem Keuangan
            Sebagai sebuah sistem, stabilitas keuangan harus dilakukan secara menyeluruh dengan cara melibatkan berbagai lembaga. Kerja sama yang baik antara pemerintah dan otoritas jasa keuangan sangat penting dalam menjaga stabilitas keuangan suatu negara. Untuk menjamin kerja sama yang terbangun adalah kerja sama yang saling mendukung, maka diperlukan suatu kerangka kerja sama untuk lembaga-lembaga tersebut sehingga duplikasi serta gesekan kepetingan dapat dihindari. Gambaran umum kerangka stabilitas sistem keuangan ini dapat di jelaskan sebagai berikut.
  Lembaga- Lembaga yang terlibat dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Pengalaman krisis pada 1997 menjadi pengalaman berharga bagi perkembangan sistem keuangan di Indonesia. Pengembangan terhadap sistem keuangan semakin cepat, untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Salah satunya adalah Jaringan Pengaman Sistem Keuangan. Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) merupakan kerangka kerja yang melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral (leader of the last resort) serta kebijakan penyelesaian krisis.
            Sasaran utam JPSK adalah menjaga stabilitas sistem keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara normal dan memberikan konrtibusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. JPSK sebenarnya lebih ditunjukkan untuk melakukan tindakan antisipasi dan pencegahan terhadap krisis, namun kerangka kerja ini juga memberikan mekanisme dalam penyelesaian krisis agar tidak menimbulkan biaya yang besar pada perekonomian.
            Pemain utama dalam JPSK ini adalah Kementrian Keuangan, Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada prinsipnya, tanggung jawab Kementrian Keuangan adalah menyusun perundang-undangan untuk sektor keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. Sementara itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.
            Kerangka JPSK disusun pada tahun 2005 yang pada akhirnya dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah juga mengelurkan Perpu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan mengingat RUU JPSK ini masih dalam tahap pembahasan. UU JPSK diharapkan dapat menjadi landasan yang kuat bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka memelihara stabilitas sistem keuangan. RUU JPSK yang dibahas ini mengatur berbagai hal seperti: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan (4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
Lembaga Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dibentuk oleh pemerintah berdasarkan pada UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan dengan tugas menjamin simpanan nasabah bank dan melakukan penyelesaian atau penanganan bank yang tidak berhasil disehatkan atau bank gagal. LPS merupaka salah satu produk pemerintah yang ditujukan untuk mebangun kepercayaan public terhadap sistem perbankan dalam negeri.
            Penjamin simpanan nasabah bank yang dilakukan oleh LPS bersifat terbatas, bukan merupakan penjaminan menyeluruh (blanket guarantee).  Sistem penjamin menyeluruh ini pernah dilakukan pemerintah pada kasus krisis 1997. Sistem ini berhasil untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, namun menciptakan moral hazard serta membebani anggran negara. Jumlah simpanan yang dijamin LPS juga dapat disesuaikan, melihat kondisi perekonomian secara menyeluruh. Seperti halnya pada krisis tahun 2008, pemerintah pernah menaikkan julah simpanan yang dijamin oleh LPS, dari Rp.100 juta menjadi Rp2 Milyar. Perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin oleh LPS tersebut diatur dalam PP No. 66 Tahun 2008 Tentang Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin LPS.
            Dalam tugasnya menjamin simpanan nasabah, LPS bekerjasama dengan industry perbankan tanah air. Setiap bank yang beroperasi di Indonesia, baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diwajibkan untuk menjadi peserta penjaminan. Nasabah yang menyimpan dananya di Bank yang telah dijamin LPS akan mendapatkan perlindungan atau jaminan sampai dengan jumlah yang ditentukan. Adapun jenis simpanan di Bank yang dijamin meliputi tabungan, giro, sertifikat deposito, dan deposito berjangka serta jenis simpanan lainnya yang dipersamakan dengan itu. Skim penjaminan LPS telah dimulai secara penuh pada sejak 22 Maret 2007.
            Penjaminan simpanan ini berjalan saat suatu bank mengalami kesulitan keuangan dan gagal untuk disehatkan kembali sehingga izin usahanya dicabut. Dalam kasus seperti ini, LPS akan membayar simpanan setiap nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu sebagaimana ditetapkan (jumlah maksimal dana yang dijamin LPS). Untuk simpanan nasabah yang tidak diajamin akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Seperti halnya ide pembentukan LPS, melalui sistem penjaminan ini diharapkan kepercayaan public terhadap industry perbankan dapat dipelihara.
            Fungsi lain dari LPS adalah penanganan bank yang tidak berhasil disehatkan atau bank gagal. Bank gagal (failing bank) adalah bank yang mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP) sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Kasus Bank Century merupakan salah satu contoh pelaksanaan funsi ini. Bank Century yang diyakini oleh bank gagal ditangani oleh LPS dengan memberikan suntikan dana untuk menjaga kepercayaan masyarakat.
            LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan bank gagal dengan kewenangan sebagai berikut:
  1. Mengambil alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak dan wewenang RUPS.
  2. Menguasai dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan.
  3. Meninjau ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan bank.
  4. Menjual dan/atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Pembentukan LPS diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Penjaminan simpanan yang dilakukan LPS terbukti dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap industry perbankan pascakrisis 1998. Namun, dengan terjadinya krisis kuangan global yang memengaruhi stabilitas nasional, maka pemerintah merasa perlu melakukan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Oleh karena itu, pada 13 Oktober 2008 dikeluarkanlah Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Dalam perpu tersebut diatur mengenai tambahan kriteria perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin untuk mengantisipasi dampak dari krisis keuangan global. Penerapan Perpu tersebut dinilai oleh pemerintah sebagai langkah yang tepat umtuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan sehingga pada 13 Januari 2009 pemerintah menetapkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2009.
Forum Stabilitas Sistem Keuangan
Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem keuangan Indonesia yang dibentuk pada 30 Desember 2005, berdasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Forum ini penting dalam menghadapi resiko atau dampak sistemis yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan keputusan bersama secara efektif dan responsif.
            Empat fungsi pokok Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK), antara lain:
  1. Menunjang pelaksanaan tugas Komite Koordinasi dalam Proses pengambilan keputusan terhadap Bank bermasalah yang ditengarai sistemis.
  2. Melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi untuk sinkronisasi peraturan perundang undangan dan ketentuan dalam bidang perbankan, lemabaga keuangan nonbank, dan pasar modal.
  3. Membahas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam sistem keuangan yang berpotensi sistemis berdasarkan pada informasi dari otoritas pengawas lembaga keuangan.
  4. Mengkoordinasikan pelaksanaan atau persiapan inisiatif tertentu disektor keuangan.
Untuk memudahkan pelaksanaan keempat fungsi di atas, FSSK dikelompokkan dalam tiga jenjang, yaitu:
  1. Forum Pengarah, bertugas memberikan arahan kepada Forum Pelaksana mengenai fungsi pokok FSSK. Forum pengarah terdiri atas 7 orang anggota, yaitu 3 orang setingkat Direktur Jendral (Dirjen) Kementrian Keuangan, 3 orang anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan 1 orang kepala Ekskutif LPS.
  2. Forum Pelaksana, bertugas melaksanakan fungsi pokok FSSK sesuai arahan dari Forum Pengarah terdiri dari 14 orang anggotanya, yaitu 6 orang Direktur di Kementerian Keuangan, 6 orang Direktur Bank Indonesia dan 2 orang Direktur LPS.
  3. Tim Kerja, berfungsi menunjang kelancaran tugas Forum Pengarah dan Forum Pelaksana, beranggotakan pejabat-pejabat dari Kementerian Keuangan, BI dan LPS yang dibentuk berdasarkan pada usulan dari masing-masing lembaga dan keputusan Forum Pengarah.