Stabilitas
Sistem Keuangan
Stabilitas
Sistem Keuangan (SSK) pada dasarnya adalah upaya yang dilakukan saat suatu
sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil. Suatu sistem keuangan dikatakan
tidak stabil pada saat sitem tersebut telah membahayakan dan menghambat
kegiatan ekonomi.
Ketidakstabilan sistem keuangan
dapat disebabkan oleh berbagai macam hal dan umumnya merupakan kombinasi
kegalalan pasar, baik karena faktor structural maupun perilaku. Kegagalan pasar
tersebut dapat bersumber dari ekstrenal (internasional) maupun internal
(domestik). Resiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara
lain resiko kredit, resiko likuiditas, resiko pasar dan resiko operasional.
Globalisasi sektor finansial yang
didukung oleh perkembangan teknologi dapat meningkatkan resiko instabilitas
sistem keuangan. Identifikasi yang dilakukan terhadap sumber ketidakstabilan
sistem keuangan umumnya lebih bersifat forward
looking (melihat kedepan). Maksudnya, identifikasi yang dilakukan
dimaksudkan untuk mengetahui potensi resiko yang akan timbul serta pengaruhnya
terhadap kondisi sistem keuangan dimasa mendatang,. Hasil identifikasi tersebut
dianalisis potensi resikonya pada masa mendatang termasuk dampaknya, apakah
dampaknya akan meluas dan bersifat sistemis sehingga dapat melumpuhkan
perekonomian.
Sistem
keuangan berperan sangat penting dalam perekonomian suatu negara. Sistem
keuangan merupakan bagian perekonomian yang berfungsi mengalokasikan dana dari
pihak yang mengalami kelebihan dana (surplus) kepada pihak yang mengalami
kekurangan dana (deficit). Sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi
secara efisien menyebabkan pengalokasian dana tidak berjalan dengan baik
sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi.
Krisis
keuangan pada 1997 menjadi pembuktian mengenai pentingnya stabilitas sistem
keuangan. Krisis tersebut menunjukkan bahwa biaya yang harus ditanggung oleh
pemerintah akibat tidak stabilnya sistem keuangan jumlahnya sangat besar serta
dibutuhkan waktu yang lama untuk membangkitkan kembali kepercayaan publik
terhadap sistem keuangan. Krisis pada 1997 juga memnunjukkan bahwa stabilitas
sistem keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga
perekonomian yang berkelanjutan.
Upaya
untuk mengurangi resiko terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan sangat
penting dilakukan karena ketidakstabilan sistem keuangan dapat mengakibatkan
timbulnya beberapa kondisi yang tidak menguntungkan seperti hal-hal berikut:
- Kebijakan
moneter menjadi tidak efektif karena transmisi kebijakan moneter tidak
berfungsi secara normal.
- Pertumbuhan
ekonomi dapat terhambat karena fungsi intermediasi tidak dapat berjalan
dengan baik dalam mengalokasikan dana.
- Kesulitan
likuiditas karena kepanikan masyarakat.
- Biaya
penyelamatan yang sangat mahal jika terjadi krisis yang bersifat sistemis.
Peran Bank Indonesia dalam Stabilitas Keuangan
Bank
Indonesia merupakan otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran di
Indonesia. Bank Indonesia bertugas untuk menjaga stabilitas moneter dan
stabilitas keuangan Indonesia. Kedua hal ini sering kali berhubungan, fungsi
untuk menjaga stabilitas moneter sering kali tidak dapat terlepas dari fungsi
menjaga stabilitas sistem keuangan.
Stabilitas moneter dan stabilitas
keuangan merupakan dua bagian yang tak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter
memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula
sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas
kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi
kebijakan moneter sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka
transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya,
ketidakstabilan moneter secara fundamental akan memperngaruhi stabilitas sistem
keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan.
Sebagai Bank Sentral, Bank Indonesia
memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima
peran utama tersebut mencangkup kebijakan dan istrumen dalam menjaga stabilitas
sistem keuangan, yaitu:
- Menjaga
stabilitas moneter, antara lain melalui instrument suku bunga dalam
operasi pasar terbuka.
- Menciptakan
kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan.
- Mengatur
dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Apabila terjadi gagal bayar (failed to settl e) pada salah satu
peserta dalam sistem pembayaran, maka akan timbul resiko potensial yang
cukup serius dan menggangu kelancaran sistem pembayaran.
- Melakukan pemantauan terhadap kerentanan
sektor keuangan dan mendeteksi
potensi kejutan (potential shock) yang
berdampak pada stabilitas sistem keuangan.
- Menjadi jaring pengaman sistem keuangan
melalui fungsi bank sentral sebagai lender
of the last resort (LoLR).
Kerangka Stabilitas Sistem
Keuangan
Sebagai sebuah sistem, stabilitas
keuangan harus dilakukan secara menyeluruh dengan cara melibatkan berbagai
lembaga. Kerja sama yang baik antara pemerintah dan otoritas jasa keuangan
sangat penting dalam menjaga stabilitas keuangan suatu negara. Untuk menjamin
kerja sama yang terbangun adalah kerja sama yang saling mendukung, maka
diperlukan suatu kerangka kerja sama untuk lembaga-lembaga tersebut sehingga
duplikasi serta gesekan kepetingan dapat dihindari. Gambaran umum kerangka
stabilitas sistem keuangan ini dapat di jelaskan sebagai berikut.
Lembaga-
Lembaga yang terlibat dalam Jaring Pengaman Sistem Keuangan
Pengalaman
krisis pada 1997 menjadi pengalaman berharga bagi perkembangan sistem keuangan
di Indonesia. Pengembangan terhadap sistem keuangan semakin cepat, untuk
mengantisipasi berbagai kemungkinan buruk yang mungkin terjadi. Salah satunya
adalah Jaringan Pengaman Sistem Keuangan. Jaring Pengaman Sistem Keuangan
(JPSK) merupakan kerangka kerja yang melandasi pengaturan mengenai skim asuransi simpanan, mekanisme
pemberian fasilitas pembiayaan darurat oleh bank sentral (leader of the last resort) serta kebijakan penyelesaian krisis.
Sasaran utam JPSK adalah menjaga stabilitas sistem
keuangan sehingga sektor keuangan dapat berfungsi secara normal dan memberikan
konrtibusi positif terhadap pembangunan ekonomi yang berkesinambungan. JPSK
sebenarnya lebih ditunjukkan untuk melakukan tindakan antisipasi dan pencegahan
terhadap krisis, namun kerangka kerja ini juga memberikan mekanisme dalam
penyelesaian krisis agar tidak menimbulkan biaya yang besar pada perekonomian.
Pemain utama dalam JPSK ini adalah Kementrian Keuangan,
Bank Indonesia, dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pada prinsipnya, tanggung
jawab Kementrian Keuangan adalah menyusun perundang-undangan untuk sektor
keuangan dan menyediakan dana untuk penanganan krisis. Sementara itu, Bank
Indonesia sebagai bank sentral bertanggung jawab untuk menjaga stabilitas
moneter dan kesehatan perbankan serta keamanan dan kelancaran sistem
pembayaran. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) bertanggung jawab untuk menjamin
simpanan nasabah bank serta resolusi bank bermasalah.
Kerangka JPSK disusun pada tahun 2005 yang pada akhirnya
dituangkan dalam Rancangan Undang-Undang tentang Jaringan Pengaman Sistem
Keuangan. Dalam pelaksanaannya, Pemerintah juga mengelurkan Perpu No. 4 Tahun
2008 tentang Jaringan Pengaman Sistem Keuangan mengingat RUU JPSK ini masih
dalam tahap pembahasan. UU JPSK diharapkan dapat menjadi landasan yang kuat
bagi kebijakan dan peraturan yang ditetapkan oleh otoritas terkait dalam rangka
memelihara stabilitas sistem keuangan. RUU JPSK yang dibahas ini mengatur
berbagai hal seperti: (1) pengaturan dan pengawasan bank yang efektif; (2) lender of the last resort; (3) skim asuransi simpanan yang memadai dan
(4) mekanisme penyelesaian krisis yang efektif.
Lembaga Penjamin Simpanan
Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) dibentuk oleh pemerintah berdasarkan pada UU No. 24 Tahun 2004 tentang
Lembaga Penjamin Simpanan dengan tugas menjamin simpanan nasabah bank dan
melakukan penyelesaian atau penanganan bank yang tidak berhasil disehatkan atau
bank gagal. LPS merupaka salah satu produk pemerintah yang ditujukan untuk
mebangun kepercayaan public terhadap sistem perbankan dalam negeri.
Penjamin simpanan nasabah bank yang dilakukan oleh LPS
bersifat terbatas, bukan merupakan penjaminan menyeluruh (blanket guarantee). Sistem
penjamin menyeluruh ini pernah dilakukan pemerintah pada kasus krisis 1997.
Sistem ini berhasil untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat, namun
menciptakan moral hazard serta
membebani anggran negara. Jumlah simpanan yang dijamin LPS juga dapat
disesuaikan, melihat kondisi perekonomian secara menyeluruh. Seperti halnya
pada krisis tahun 2008, pemerintah pernah menaikkan julah simpanan yang dijamin
oleh LPS, dari Rp.100 juta menjadi Rp2 Milyar. Perubahan besaran nilai simpanan
yang dijamin oleh LPS tersebut diatur dalam PP No. 66 Tahun 2008 Tentang
Besaran Nilai Simpanan yang Dijamin LPS.
Dalam tugasnya menjamin simpanan nasabah, LPS bekerjasama
dengan industry perbankan tanah air. Setiap bank yang beroperasi di Indonesia,
baik bank umum maupun Bank Perkreditan Rakyat (BPR) diwajibkan untuk menjadi
peserta penjaminan. Nasabah yang menyimpan dananya di Bank yang telah dijamin
LPS akan mendapatkan perlindungan atau jaminan sampai dengan jumlah yang
ditentukan. Adapun jenis simpanan di Bank yang dijamin meliputi tabungan, giro,
sertifikat deposito, dan deposito berjangka serta jenis simpanan lainnya yang
dipersamakan dengan itu. Skim penjaminan
LPS telah dimulai secara penuh pada sejak 22 Maret 2007.
Penjaminan simpanan ini berjalan saat suatu bank
mengalami kesulitan keuangan dan gagal untuk disehatkan kembali sehingga izin
usahanya dicabut. Dalam kasus seperti ini, LPS akan membayar simpanan setiap
nasabah bank tersebut sampai jumlah tertentu sebagaimana ditetapkan (jumlah
maksimal dana yang dijamin LPS). Untuk simpanan nasabah yang tidak diajamin
akan diselesaikan melalui proses likuidasi bank. Seperti halnya ide pembentukan
LPS, melalui sistem penjaminan ini diharapkan kepercayaan public terhadap
industry perbankan dapat dipelihara.
Fungsi lain dari LPS adalah penanganan bank yang tidak
berhasil disehatkan atau bank gagal. Bank gagal (failing bank) adalah bank yang
mengalami kesulitan keuangan dan membahayakan kelangsungan usahanya serta
dinyatakan tidak dapat lagi disehatkan oleh Lembaga Pengawas Perbankan (LPP)
sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya. Kasus Bank Century merupakan salah
satu contoh pelaksanaan funsi ini. Bank Century yang diyakini oleh bank gagal
ditangani oleh LPS dengan memberikan suntikan dana untuk menjaga kepercayaan
masyarakat.
LPS dapat melakukan penyelesaian dan penanganan bank
gagal dengan kewenangan sebagai berikut:
- Mengambil
alih dan menjalankan segala hak dan wewenang pemegang saham, termasuk hak
dan wewenang RUPS.
- Menguasai
dan mengelola asset dan kewajiban bank gagal yang diselamatkan.
- Meninjau
ulang, membatalkan, mengakhiri, dan/atau mengubah setiap kontrak yang
mengikat bank gagal yang diselamatkan dengan pihak ketiga yang merugikan
bank.
- Menjual
dan/atau mengalihkan asset bank tanpa persetujuan debitur dan/atau
kewajiban bank tanpa persetujuan kreditur.
Pembentukan
LPS diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah dan sekaligus
meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank. Penjaminan simpanan yang
dilakukan LPS terbukti dapat memelihara kepercayaan masyarakat terhadap
industry perbankan pascakrisis 1998. Namun, dengan terjadinya krisis kuangan
global yang memengaruhi stabilitas nasional, maka pemerintah merasa perlu
melakukan upaya untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Oleh
karena itu, pada 13 Oktober 2008 dikeluarkanlah Perpu No. 3 Tahun 2008 tentang
Perubahan atas UU No. 24 Tahun 2004 tentang LPS. Dalam perpu tersebut diatur
mengenai tambahan kriteria perubahan besaran nilai simpanan yang dijamin untuk
mengantisipasi dampak dari krisis keuangan global. Penerapan Perpu tersebut
dinilai oleh pemerintah sebagai langkah yang tepat umtuk menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan sehingga pada 13 Januari 2009 pemerintah
menetapkan Perpu tersebut menjadi Undang-Undang No. 7 Tahun 2009.
Forum
Stabilitas Sistem Keuangan
Forum Stabilitas Sistem
Keuangan (FSSK) adalah forum koordinasi, kerja sama dan pertukaran informasi
antara otoritas yang berkepentingan dalam pemeliharaan stabilitas sistem
keuangan Indonesia yang dibentuk pada 30 Desember 2005, berdasarkan pada
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia, dan Ketua Dewan
Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan. Forum ini penting dalam menghadapi resiko
atau dampak sistemis yang penyelesaiannya menuntut kebijakan dan pengambilan
keputusan bersama secara efektif dan responsif.
Empat fungsi pokok Forum Stabilitas Sistem Keuangan
(FSSK), antara lain:
- Menunjang
pelaksanaan tugas Komite Koordinasi dalam Proses pengambilan keputusan
terhadap Bank bermasalah yang ditengarai sistemis.
- Melakukan
koordinasi dan tukar menukar informasi untuk sinkronisasi peraturan
perundang undangan dan ketentuan dalam bidang perbankan, lemabaga keuangan
nonbank, dan pasar modal.
- Membahas
berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung
dalam sistem keuangan yang berpotensi sistemis berdasarkan pada informasi
dari otoritas pengawas lembaga keuangan.
- Mengkoordinasikan
pelaksanaan atau persiapan inisiatif tertentu disektor keuangan.
Untuk memudahkan pelaksanaan
keempat fungsi di atas, FSSK dikelompokkan dalam tiga jenjang, yaitu:
- Forum
Pengarah, bertugas memberikan arahan kepada Forum Pelaksana mengenai
fungsi pokok FSSK. Forum pengarah terdiri atas 7 orang anggota, yaitu 3
orang setingkat Direktur Jendral (Dirjen) Kementrian Keuangan, 3 orang
anggota Dewan Gubernur Bank Indonesia dan 1 orang kepala Ekskutif LPS.
- Forum
Pelaksana, bertugas melaksanakan fungsi pokok FSSK sesuai arahan dari
Forum Pengarah terdiri dari 14 orang anggotanya, yaitu 6 orang Direktur di
Kementerian Keuangan, 6 orang Direktur Bank Indonesia dan 2 orang Direktur
LPS.
- Tim
Kerja, berfungsi menunjang kelancaran tugas Forum Pengarah dan Forum
Pelaksana, beranggotakan pejabat-pejabat dari Kementerian Keuangan, BI dan
LPS yang dibentuk berdasarkan pada usulan dari masing-masing lembaga dan
keputusan Forum Pengarah.